Industri perunggasan pada 2024 cukup optimis, karena target pertumbuhan ekonomi nasional di 2023 sudah tercapai. Sementara di 2024 proyeksi pertumbuhan ekonomi akan naik di angka 5,2%
Unggas merupakan komoditas pangan bernilai ekonomi strategis, di mana daging ayam dan telur adalah protein hewani yang harganya lebih terjangkau oleh masyarakat dibandingkan daging sapi. Namun dibalik potensi besar komoditas unggas ini, ternyata masih ada masalah pada sektor hulu dan hilir peternak, terutama peternak mandiri. Dinamika sapronak (sarana produksi peternakan) seperti DOC (ayam umur sehari) dan langkanya bahan pakan seperti jagung yang persentasenya mencapai 50 %, membuat HPP (Harga Pokok Produksi) membengkak, belum lagi harga LB (live bird/ayam hidup) broiler (ayam pedaging) yang fluktuatif.
Seperti diutarakan Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Sekjen GOPAN), Sugeng Wahyudi mengatakan kondisi perunggasan saat ini tidak menggembirakan, dalam arti peternak itu dalam kondisi merugi sebab HPP di atas harga pasar. Dari situ dapat ditelusuri penyebabnya, yakni input seperti pakan ayam. Menurut Sugeng, pakan menjadi sapronak yang berbiaya tinggi.
“Kemudian tata niaga di perunggasan ini juga belum ada keberpihakan kepada peternak. Dalam artian, pelaku itu beragam, yakni mulai yang besar sampai kecil. Mereka secara bersama-sama berbudidaya Final Stock (FS). Di satu sisi, mereka bergantung di pasar yang sama, yaitu pasar ayam hidup, yang dalam hal ini pasar tradisional,” tuturnya.
Ditambah lagi, ia melanjutkan, data estimasi produksi 2023 ternyata kelebihan pasokan ayam, yang berlanjut menjadi kelebihan pasokan LB. Selain itu, pelaku tidak memiliki kemampuan untuk memasarkan. Dengan kata lain, daya serap atau demand lebih kecil dibandingkan dengan supply. Kemudian, tidak ada diversifikasi pemasaran hasil akhir dari ayam yang seharusnya mungkin persentase pengolahan atau pemasarannya ke horeka (hotel, restoran, kafe) sehingga menjadi kendala.
Sementara Ketua Presidium PPN (Pinsar Petelur Nasional), Yudianto Yosgiarso menerangkan bahwa melihat perkembangan situasi dari tahun ke tahun, terutama dari 2021, 2022, 2023 ini tergolong semuanya membaik. “Pada 2021 kita masih terkait dengan beberapa masalah, terutama Covid-19.
Kemudian 2022 mulai terlepas, sehingga masuk ke 2023 demand masyarakat mengenai daging ayam maupun telur otomatis meningkat dan ini memberikan keceriaan baru untuk para peternak,” ungkap pria yang karib disapa Yudi ini, Ia menilai, meningkatnya situasi ini perlu didukung dengan semua sarana prasarana (sarpras) yang menyangkut industri peternakan, baik mengenai masalah bibit, bahan baku pakan dan lain sebagainya.
Namun ternyata ini yang belum seirama, ada catatan-catatan penting yang terkait kendala peternak layer (ayam petelur) hadapi dan harus disampaikan secara terus-menerus. “Pertama, dari sejak awal tahun kami sudah mengingatkan masalah jagung. Kami sudah memberikan peringatan, karena gejolak harga jagung naik turun. Fluktuasi harga itu gejolaknya tinggi sekali. Jika memang jagung dikatakan surplus, maka kelangkaan jagung tidak akan terjadi. Kedua, mengenai masalah pengaturan importasi GPS (Grand Parent Stock), baik di layer dan khususnya broiler belum terselesaikan dengan baik,” keluhnya.
Over Supply GPS
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Sekjen Pinsar), Muchlis Wahyudi yang mengaku kurang lebih sudah 12 tahun menyuarakan nasib peternak mandiri, mengatakan bahwa permasalahan perunggasan nasional masih berkutat di persoalan yang sama. Menurutnya, mungkin permasalahan terjadi di semester kedua 2023, yakni atas dasar importasi GPS di 2021 yang kurang lebih 695.000 ekor sehingga terjadi over supply di 2023.
Kebijakan yang diambil dan dilaksanakan, yaitu denganpengendalian dalam bentuk SE (Surat Edaran) hingga pertengahan tahun masih baik. Kemudian di September 2023 mulailah gejolak itu muncul, di mana distribusi DOC yang tidak rata di seluruh Indonesia, kemudian chick in juga ugal-ugalan. Akhirnya berdampak ke semua stakeholder, sehingga 2023 memang berat terlebih pada semester kedua yaitu September dan Oktober,” urainya.
Puncaknya adalah pada November 2023, di mana harga LB itu hancur-hancuran hingga di angka Rp 13.000 per kg di Jawa Tengah, dan Rp 14.000 – Rp 15.000 per kg di Jawa Barat. Ini bukan berarti tidak ada pengendalian, tetapi pengendalian yang sudah diterbitkan belum ditaati dengan baik. “Saya menilai, ada beberapa yang tidak taat,” cetusnya.
Adapun harga LB di kandang itu tidak berkorelasi dengan harga di tingkat konsumen. “Ketika harga LB di tingkat peternak turun ke Rp 17.000 per kg, tetapi di tingkat konsumsen paling rendah di Bandung, Jawa Barat yaitu sebesar Rp 33.000 per kg. Kami berusaha untuk naik Rp 19.000 – Rp 20.000 per kg, tetapi harga di tingkat konsumen sudah Rp 35.000 per kg, sedangkan ketika harga turun para bakul tidak menurunkan harga,” sesal Muchlis. Senada dengan Muchlis Ketua GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas), Achmad Dawami pun menyatakan bahwa impor GPS memang besar, yakni hampir di atas 600.000 ekor dan hampir 700.000 ekor pada 2021 dan 2022 serta 2023 juga masih di atas 660.000 ekor GPS.
Dengan kelebihan produksi di Indonesia ini, maka pemerintah mengambil sikap untuk mencoba menyeimbangkan antara produksi dengan permintaan, yaitu dengan menurunkan jumlah stok menjadi 530.000 ekor atau 540.000 ekor saja. “Ada pengurangan sekitar 120.000 – 130.000 ekor dalam satu tahun. Itu kira-kira bisa memproduksi sampai dengan 1 miliar DOC, jika seandainya itu tidak dikurangi.
Sehingga secara teori, mungkin akan ada kekurangan sekitar 1 miliar DOC tapi baru di 2026 nanti, sebab efeknya 2 tahun mendatang. Mudah-mudahan itu nanti akan menjadi keseimbangan, sehingga akan lebih baik dari tahun-tahun yang sebelumnya,” jelas pria yang akrab disapa Dawami ini.
Jurnalis
Rf-1 TROBOS Livestock
Let’s Join Us.!
Prodi Sarjana Terapan Agribisnis Unggas Vokasi UMM