Cibinong - Peternak ayam mandiri, khususnya untuk ayam petelur, merupakan pilar utama keberlanjutan peternakan skala UKM yang masih kokoh di beberapa daerah di Indonesia. Meskipun berbagai tantangan menghadang, seperti kenaikan harga bahan baku pakan, manajemen budidaya yang belum optimal, dan fluktuasi harga jual, namun keberadaan mereka tetap eksis. Semangat kemandirian para peternak ayam petelur memainkan peran kunci dalam ketahanan pangan dan ekonomi di wilayah-wilayah.
Terkait itu, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Peternakan berkolaborasi dengan Majalah Infovet menyelenggarakan kegiatan Webinar Risnov Ternak#2 mengusung tema “Peternak Ayam Petelur Mandiri: Harapan dan Tantangan” yang bertujuan untuk berbagi informasi perkembangan riset dan inovasi (risnov) bidang peternakan, pada Kamis (21/03).
Dalam sambutannya Kepala ORPP BRIN, Puji Lestari menyampaikan bahwa informasi hasil riset dan inovasi bidang peternakan sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan dan menjadi harapan para peternak ayam untuk mandiri.
Puji juga menyampaikan jika daging ayam dan telur menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani yang sangat penting dalam mengatasi masalah stunting di Indonesia. Produksi daging ayam dan telur ayam nasional selalu surplus setiap tahun, dan harganya terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, jika industri ayam petelur mengalami kegagalan maka target Indonesia untuk menurunkan prevalensi stunting di bawah 20% akan sulit tercapai.
Baca juga: Sukseskan Diaspora Vokasi, Fakultas Vokasi UMM Gelar Penjajakan Sertifikasi Internasional
Selain itu, permasalahan mendasar industri peternakan ayam tidak terlepas dari komponen utama pakan ayam yang sangat tergantung impor. Jadi ketika ada fluktuasi harga bahan pakan impor maka berdampak signifikan terhadap industri peternakan dalam negeri.
“Kita merupakan negara megabiodiversitas, mestinya mampu mendapatkan sumber pakan alternatif untuk ternak dari sumber daya lokal,” ungkap Puji.
Dirinya juga berharap jika webinar hari ini mendapatkan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan pakan ternak.
Sementara Kepala PR Peternakan ORPP BRIN, Tri Puji Priyatno menjelaskan pakan ternak menjadi komponen produksi yang sangat memberatkan peternak, karena sumber protein utama dalam pakan ternak masih sangat tergantung impor.
“Kandungan sumber pakan import dalam pakan ternak memang hanya sekitar 35%, tapi nilai biayanya mencapai 60-70%, kalau kita bisa menekan hingga 40-50% biaya pakan impor dalam pakan ternak mungkin dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi dalam industri peternakan,” rincinya.
“Sebenarnya potensi untuk menekan biaya pakan impor dalam industri peternakan kita sangat memungkinkan, karena 90-95% pakan ayam berasal dari bahan nabati dan kita memiliki sumber biomassa yang sangat melimpah untuk menjadi sumber pakan, seperti bungkil inti sawit,” sambungnya.
Tri menjelaskan, ayam ras dikenal sangat responsif dan tergantung terhadap kandungan pakan tinggi protein dari sumber pakan tertentu, misal bungkil kedelai yang 100% kita impor. Kalau kita menggunakan jenis ayam yang secara genetik memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap variasi asupan pakannya, kemandirian pakan dengan mudah dapat diwujudkan.
“Kunci utama dalam menghindari seleksi alam adalah plastisitas genetik dan adaptabilitas terhadap perubahan,” tambah Tri.
Pada kesempatan yang sama, Arnold Parlindungan Sinurat, Pakar Nutrisi Unggas, BRIN menjelaskan salah satu permasalahan yang dihadapi industri ayam petelur di Indonesia adalah harga pakan mahal karena ketersediaannya sangat terbatas kebutuhan banyak sehingga menyebabkan impor bahan pakan terus meningkat.
“Disamping itu, biaya pemeliharaan meningkat akibat perubahan iklim yang menimbulkan resiko penyakit, adanya tuntutan konsumen dan UU/Peraturan serta serta harga produk (telur) berfluktuasi dan sering tidak seimbang dengan biaya produksi,” jelasnya.
Menurut Profesor Riset di PR Peternakan ini, biaya terbesar industri ayam petelur adalah pakan. Dari simulasi yang kita buat biaya pakan untuk pemeliharaan ayam umur sehari hingga pullet mencapai 65.8 % ini dan biaya dari DOC sampai afkir mencapai 85 % dari biaya produksi.
Dirinya menjelaskan, strategi untuk peningkatan efisiensi produksi yang disarankan adalah, pertama menggunakan bahan pakan tersedia yang harganya relatif lebih murah. Namun, penggantian atau pengurangan bahan pakan harus menerapkan prinsip-prinsip formulasi pakan yang benar.
Kedua, menerapkan teknologi nutrisi (misal menggunakan imbuhan pakan yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan meningkatkan produksi). Ketiga, Meningkatkan kesehatan ternak (biosecurity dan imunitas), dan keempat, bisa memperpanjang waktu pemeliharaan masa bertelur, tambahnya.
“Pakan ayam petelur Indonesia umumnya terdiri dari Jagung, bekatul, bungkil kedelai, tepung daging dan tulang. Bila ada bahan pakan yang sulit diperoleh, maka kita perlu mencari bahan pakan yang ekonomis,” imbuhnya.
Arnold menambahkan sebagai contoh, tingginya harga jagung akhir-akhir ini, bisa diganti atau dikurangi dengan menggunakan gandum, sorghum, singkong dan produk sawit. Namun, kandungan gizi (terutama protein, asam amino, energi metabolis, mineral phosphor dan kalsium) harus diketahui dan juga jika ada faktor-faktor pembatas dalam penggunaan suatu bahan pakan. Formulasi dapat dilakukan dengan metode formulasi yang akurat.
Ada beberapa imbuhan yang dapat meningkatkan efisiensi pakan, namun hanya diuraikan lebih detail tentang ENZIM. Arnold dan tim telah menghasilkan Teknologi Produksi Enzim Pemecah Serat (PATEN No IDP0000079918 – 14 Nop 2021) yaitu ENZIM BS4. Hasil uji menunjukkan bahwa enzim ini dapat meningkatkan energi metabolis pakan dan kecernaan protein bahan pakan/pakan berserat.
Pengujian pada ternak sudah dilakukan di kandang percobaan maupun di peternak ayam petelur maupun broiler komersil di Tangerang, Boyolali dan Sukabumi. Enzim BS4 dapat meningkatkan produksi telur 5,6 hingga 11,4% dan perbaikan efisiensi pakan 5,8 hingga 8,3% dibanding yang tidak diberi enzim (Kontrol). Pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa khasiat enzim BS4 sama atau lebih baik dari enzim komersil (impor) yang diuji.
Arnold mengharapkan dalam menerapkan teknologi seperti penggunaan imbuhan pakan yang dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan zat gizi dalam bahan pakan, dapat menggunakan bahan pakan berserat spt BIS lebih banyak dalam pakan.
Dirinya juga menyampaikan sampai saat ini enzim Pemecah Serat (ENZIM BS4) belum diproduksi secara komersil, bila ada yang berminat bisa melakukan kerjasama untuk skala industri.
Sementara itu, Tike Sartika, Peneliti BRIN menyampaikan tentang beberapa potensi ayam lokal dalam menghasilkan konsumsi di Indonesia. Saat ini sudah dilakukan karakterisasi lebih dari 30 ayam lokal yang ada di Indonesia dan yang memiliki potensi menjadi ayam petelur hanya ayam kampung dan ayam arab.
"Ayam kampung pun itu sudah hasil seleksi dan yang sekarang sudah mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari kementerian pertanian itu ada 3 galur, ayam arab 1 galur dan ayam arab golden masih dalam proses untuk mendapatkan SK nya” Ungkap Tike.
Tike juga menyampaikan jika ILRI (International Livestock Research Institute) mengakui Indonesia merupakan salah satu pusat domestikasi ayam di dunia dan Sumber Daya Genetik Indonesia sudah diakui namun kita belum bisa memanfaatkannya secara maksimal. Saat ini hanya sedikit industri peternakan yang memanfaatkan ayam lokal untuk menghasilkan telur konsumsi, karena produksi telur ayam lokal masih rendah. Bibit GPS (Grand Parent Stock) ayam ras baik pedaging maupun petelur sampai saat ini masih impor termasuk cara pemeliharaan, bahan pakan, vaksin dan aspek pendukung lainnya juga sebagian besar masih impor. Untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya lokal dan mengurangi impor bibit GPS diperlukan terobosan baru dengan membentuk GPS ayam lokal yang merupakan Sumber Daya Genetik ayam Indonesia dan telah adaptif dengan kondisi lingkungan Indonesia.
“Ayam lokal dapat dimanfaatkan sebagai penghasil telur yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dengan brand telur omega tinggi dan warna kuning telurnya orange sehingga termasuk pasar niche market dan pemanfaatan SDG ayam lokal dapat dipelihara secara sederhana melalui peternakan unggas keluarga (Family Poultry Farming) sehingga dapat menambah gizi keluarga dan mengurangi stunting,” tutup Tike.
Peternak mandiri adalah peternak yang mempunyai kontribusi terhadap pembangunan peternakan di Indonesia. untuk itu perlu campur tangan pemerintah dan BRIN untuk mengembalikan produktivitas peternakan kembali membaik. Pemilihan bahan pakan alternatif sudah saatnya melengkapi bahan pakan konvensional dengan berbagai teknologi yang dilakukan.
Dalam webinar ini juga menghadirkan pembicara ahli di bidangnya yaitu Hidayaturohman, Pengurus Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar Indonesia) dan Direktur Jatinom Grup Blitar dengan materi berjudul berjudul “Peternak Ayam Petelur Mandiri: Harapan dan Tantangan Menghadapi Gejolak Perunggasan”. Ia menyampaikan berbagai tantangan yang saat ini dihadapi peternak ayam mandiri adalah pola konsumsi musiman dan rantai pasok, hot climate humidity yang tinggi serta kandang dan peralatan yang masih belum disesuaikan dengan kebutuhan unggas.
Jurnalis
Rf-1 BRIN
Let’s Join Us.!
Prodi Sarjana Terapan Agribisnis Unggas Vokasi UMM